Rabu, 04 April 2012

DARAH DAN NALURI BANGSA PETARUNG


Tidak dulu tidak sekarang, yang namanya kehormatan dan kebanggaan adalah dua hal yang selalu dikejar pasukan pilihan dari kesatuan manapun di dunia. Bagi mereka operasi militer yang tak mungkin di serahkan kepada pasukan biasa adalah kehormatan dan kebanggaan. Sehingga, bagi reputasi sebuah pasukan, yang namanya kepercayaan, kebanggaan dan kehormatan pastilah segala–galanya.

Dalam lembaran sejarah kemiliteran Jerman, kita akan mengikuti betapa membanggakan dan terhormatnya pasukan elit negeri ini tatkala diberi kepercayaan berperang di berbagai Mandala Eropa. Mereka sadar, kepercayaan seperti ini akan membuat kesatuan mereka semakin dikagumi sekaligus disegani.

Alkisah, kepandaian membuka serangan serta semangat untuk mencoba strategi baru membuat merka sulit dibendung lawan–lawannya. Operasi militer paling legendaris yang pernah dilakukan adalah ketika berupaya menggulung Perancis. Dengan cerdiknya merka lebih dulu memancing tentara Perancis-Inggris bergerak ke wilayah utara untuk kemudian ditusuk dari arah Timur.

Serangan Kilat(blitzkrieg) ala permainan catur ke wilayah Perancis tersebut lahir dari kepala Jenderal Erich Von Mainstein. Namun, prestasi Mainstein sendiri bukan satu-satunya catatan gemilang bagi pasukan Jerman. Mereka masih memliki Jenderal-Jenderal pintar lain yang dikenal mandiri dan sukses di lapangan. Katakan saja itu Heinz Guderian yang memimpin GrossDeutchland Panzer Division. Lalu ada pula Erwin Rommel yang selain memimpin 7th Panzer “Gespenster” Division juga dikenal sebagai pendiri DAK (Deutsches Afrika Korps).

Maka tak heran ketika sekutu siap mendarat di Pantai Normandia, yang begitu “dicari” Panglima Sekutu Jenderal Dwight D. Eisenhower bukanlah Hitler, melainkan Rommel. Hitler hanyalah sekadar pengobar semangat, sementara ancaman yang sesungguhnya ada di tangan Jenderal-Jenderal itu. Rommel amat diperhitungkan karena pasukannya pernah menerobos Sekutu hingga ke Cherbourg dan Selat Inggris (1940). Rommel jugalah yang menyelamatkan Italia di Libya (1941).

Uniknya, Blitzkrieg bukanlah karya murni Tentara Jerman. Ide serangan kilat ini justru muncul pertama kali dari kepala Liddell Hart, ahli perang asal Inggris. Namun, bagi sementara pengamat kemiliteran, blitzkrieg sendiri bukanlah satu-satunya faktor penentu keberhasilan Tentara Jerman. Masih ada penentu lain yang membuat pasukan Jerman begitu Digdaya. Itu adalah berkat darah dan naluri petarung warisan dari nenek moyang. Karena garis darah inilah mereka lalu kerap dijuluki Bangsa Petarung.

Kebrutalan Celt

Hikayat tentang darah dan naluri penempur itu setidaknya bisa dirunut dari catatan kebrutalan Bangsa Celt yang hidup di abad ke-2 Sebelum Masehi. Nenek Moyang Bangsa Jerman ini begitu doyan perang dan gemar mencaplok wilayah di sekitarnya. Catatan terhebat diukir pada tahun 4 dan 5 Sesudah Masehi ketika Mereka mampu menumbangkan Kekaisaran Romawi yang begitu kuat. Dibawah tangan besi Charlemagne, pada tahun 800, mereka lalu mendirikan Holy Roman Empir. Wilayahnya amat luas, mencakup hampir seluruh bagian barat Kontinen Eropa. Tetapi karena semangat bertarung yang tinggi, Kekaisaran ini akhirnya tercabik-cabik sendiri.

Pada abad ke-18, Holy Roman Empire kembali bangkit setelah kekuatan Kaisar Frederick dan Perdana Menteri Otto Von Bismarck berhasil menundukkan Perancis, Austria, dan Prusia. Imperium rancangan Otto Von Bismarck inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai Reich Kedua atau basis Reich Ketiga yang akan digelar Hitler. Itu Sebab Hitler tak merasa bersalah ketika ingin mencaplok kembali Austria, Perancis, dan Russia (Prussia). 

Memasuki abad ke-19, darah dan naluri petarung itu masih terus begejolak. Keturunan Bangsa Celt ini bahkan mengotaki Perang Dunia 1 dan tak mau begitu saja dinyatakan kalah oleh Sekutu. Meski Jutaan orang telah tewas berlumuran darah, semangat untuk menguasai Eropa tetap tak terbendung. Kejengkelan inilah yang selanjutnya meletupkan Perang Dunia Jilid 2.

Bagi Eropa, Perang Dunia 2 kemudian dikenang sebagai puncak kebrutalan Bangsa Jerman. Selain merenggut 50 Juta korban jiwa, ironisnya pertikaian ini juga menutup Riwayat Hitler, kroni, dan para Jenderalnya. Sebagian besar mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Lazimnya petarung, bunuh diri lebih terhormat ketimbang menyerah.



 GSG-9 dan KSK

Kini, meski PD 2 sudah berlalu lama dan kegiatan di dalam Negeri lebih dipusatkan untuk memajukan perekonomian dan teknologi, gambaran tentang Bangsa petarung samar-samar masih tampak. Hal ini bisa dilihat dari citra pasukan Anti-Teroris Grenzschutz-gruppe-9 atau GSG-9. Tak percaya? Simak saja komentar khusus yang pernah dilayangkan pasukan anti-teroris israel.

Bagi pasukan israel yang sama-sama dibekali darah petarung, GSG-9 adalah pasukan anti-teroris terbaik di Dunia. Sedemikian kagumnya, Ulrich Wegener – Salah seorang Pelopor GSG-9 bahkan pernah diundang khusus untuk menyaksikan operasi pembebasan sandera paling klasik di Dunia, yang terjadi di Entebe, Uganda. Bagi kedua Bangsa petarung, operasi pembebasan sandera boleh jadi bak generator pemacu adrenalin dan kepuasan jiwa.

Para personel GSG-9 adalah petarung tangan kosong, pengguna segala macam senjata, penjinak bom, dan pelempar pisau. Mereka mahir menggunakan segala macam kendaraan termasuk helikpoter dan terlatih menangani pembajakan udara di segala macam pesawat, kecuali pesawat Rusia. Prestasi paling gemilang yang pernah diukir adalah ketika menangani pembajakan Boeing 737 Lufthansa LH-181 pada 18 Oktober 1977 di Mogadishu, Somalia.

Kala itu dalam operasi bersandi Magic Fire mereka berhasil mengakhiri drama pembajakan terlama (lima hari) di Dunia hanya dalam waktu lima menit. Setelah meledakkan peledak magnetis dan membrondongkan senapan MP-5, keempat pembajak berhasil dilumpukan secara cepat. Ke-86 penumpang berikut empat awak udara berhasil diselamatkan tanpa cidera berarti, kecuali kapten pilot Jurgen Schumann yang terlanjur dibunuh pembajak. Benar-benar Blitzkrieg!

GSG-9 selanjutnya jadi rujukan pasukan anti-teroris Dunia. Tak kurang dari personel Detasemen 81-Kopassus (kini Gultor) pernah berguru di markas mereka di Hangelaar. Jerman juga memliki pasukan Elit Bundeswehr Kommando Spezialkrafte atau KSK yang diyakini mewarisi pula ketrengginasan nenek moyang. KSK tak lain adalah turunan Fallschirmjager, Pasukan Lintas Udara AU Jerman pada Perang Dunia 2.

  Personil GSG-9
 
Logo GSG-9


Personil KSK

Logo KSK


“ kampf bis zum letzten Mann und der Letzten Kugel… “ Bertempur sampai orang terakhir dan peluru terakhir… Begitulah kata-kata yang dikobarkan Adolf Hitler tatkala menggelar Operasi Barbarossa pada 1941. Operasi ini untuk menaklukan Rusia, kunci menuju Eropa yang lebih luas. Sadar sama saja dengan membangunkan Raksasa tidur, Heinz Guderian sebenarnya tak yakin bisa menaklukan Negeri yang sama-sama Brutal itu.

Tetapi Layaknya Petarung, Kata “tak mungkin” tak ada dalam kamus mereka. Yang ada adalah Kebanggaan, Kehormatan, dan Serbu saja sampai orang terakhir dan peluru terakhir. Menang harus, Kalah urusan nanti…(**)  

Sumber  :  Edisi Koleksi Angkasa
 

1 komentar: