Kedua, merebaknya isu Negara Islam Indonesia (NII) KW 9, yang
diklaim sebagai akibat ditinggalkannya ideologi Pancasila, yang
ditengarai sejumlah pihak telah mengalami kropos dan ditinggalkan
rakyat.
Kenyataan ini mendorong munculnya wacana 4 pilar kebangsaan. Yaitu
NKRI, UUD 1945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika. Lalu, apa
relevansinya mengaitkan kitab suci Yahudi, NII dan semangat kembali ke
Pancasila? Tulisan berikut ini akan mengurai, adakah benang merah
Pancasila dan zionisme dalam Talmud Yahudi.
Pancasila dalam Talmud
Selama ini, Pancasila diyakini sebagai made in Indonesia
asli, produk pemikiran yang digali dari rahim bumi pertiwi. Kemudian,
berhasil dirumuskan sebagai ideologi dan falsafah bangsa oleh Bung
Karno, hingga menjadi rumusan seperti yang kita kenal sekarang.
Sejauh mana klaim di atas memperoleh legitimasi historis serta
validitas akademik? Adakah bangsa lain dan gerakan ideologi lain yang
telah memiliki Pancasila sebelum Sukarno menyampaikan pidatonya di depan
sidang BPUPKI, 1 Juni 1945?
Sebagai peletak dasar negara Pancasila, Bung Karno mengaku, dalam
merumuskan ideologi kebangsaannya, banyak terpengaruh pemikiran dari
luar. Di depan sidang BPUPKI, Bung Karno mendeskripsikan pengakuannya:
“Pada waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang
sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran pada saya, ‘jangan
berpaham kebangsaan, tapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia”.
Tetapi pada tahun 1918, kata Bung Karno selanjutnya, alhamdulillah
ada orang lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam
tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles,
saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan
A. Baars itu. Sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan di hati saya oleh
pengaruh buku tersebut.”
Pengakuan jujur Bung Karno ini membuktikan, sebenarnya Pancasila
bukanlah produk domestik yang orisinal, melainkan intervensi ideologi
transnasional yang dikemas dalam format domestik.
Sebagai derivasi gerakan zionisme internasional, freemasonry memiliki doktrin Khams Qanun
yang diilhami Kitab Talmud. Yaitu, monoteisme (ketuhanan yang maha
esa), nasionalisme (berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Yahudi),
humanisme (kemanusiaan yang adil dan beradab bagi Yahudi), demokrasi
(dengan cahaya talmud suara terbanyak adalah suara tuhan), dan
sosialisme (keadilan sosial bagi setiap orang Yahudi). (Syer Talmud
Qaballa XI:45).
Tokoh-tokoh pergerakan di Asia Tenggara juga merujuk pada Khams Qanun
dalam merumuskan dasar dan ideologi negaranya. Misalnya, tokoh China
Dr. Sun Yat Sen, seperti disebut Bung Karno, dasar dan ideologi
negaranya dikenal dengan San Min Chu I, terdiri dari: Mintsu, Min Chuan, Min Sheng, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme.
Asas Katipunan Filipina yang dirumuskan oleh Andreas Bonifacio, 1893,
dengan sedikit penyesuaian terdiri dari : nasionalisme, demokrasi,
ketuhanan, sosialisme, humanisme. Begitupun, Pridi Banoyong dari
Thaeland, 1932, merumuskan dasar dan ideologi negaranya dengan prinsip:
nasionalisme, demokrasi, sosialisme, dan religius.
Sedangkan Bung Karno, proklamator kemerdekaan Indonesia, pada mulanya
merumuskan ideologi dan dasar negara Indonesia yang disebut Panca Sila
terdiri dari: nasionalisme (kebangsaan), internasionalisme
(kemanusiaan), demokrasi (mufakat), sosialisme, dan ketuhanan.
Prinsip indoktrinasi zionisme, memang cukup fleksibel. Dan
fleksibilitasnya terletak pada kemampuannya beradaptasi dengan pola
pikir pimpinan politik disetiap negara.
Pertanyaannya, adakah kesamaan ideologi dari tokoh dan
aktor politik di atas bersifat kebetulan, atau memang berasal dari
sumber yang sama, tapi dimainkan oleh aktor-aktor politik yang berbeda?
Dalam kaedah mantiq, dikenal istilah tasalsul, yaitu
rangkaian yang berkembang, mustahil kebetulan. Artinya, sesuatu yang
berpengaruh pada yang sesudahnya, pastilah bukan kebetulan.
Rumusan Pancasila versi Bung Karno, memiliki kesamaan dengan doktrin
zionisme yang dijiwai Talmud. Sehingga, klaim Pancasila sebagai produk
domistik terbantahkan secara faktual.
Intervensi ideologi ini, berpengaruh besar terhadap perkembangan
Indonesia pasca kemerdekaan. Di zaman demokrasi terpimpin, pengamalan
Pancasila berwujud Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Sedang di
zaman orde baru, praktik Pancasila berbentuk asas tunggal. Kedua model
amaliah Pancasila itu, telah melahirkan ideologi politik traumatis.
Melestarikan Pancasila seperti diwariskan kedua rezim di atas,
berarti melestarikan doktrin Yahudi, yang bertentangan dengan konstitusi
negara. Dan tidak konsisten dengan semangat kemerdekaan. Muqadimah UUD
1945, menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa.
Dalam kaitan ini, pemerintah bertanggungjawab merealisasikan dasar
dan ideologi negara, selaras dengan muqadimah UUD ’45. Seperti tertuang
dalam pasal 29 ayat 1, bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Prof. Hazairin, SH menafsirkan negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, adalah: pertama, di negara RI tidak boleh ada aturan yang
bertentangan dengan agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan Syari’at
Islam bagi umat Islam, syari’at Nasrani bagi umat Nasrani, dstnya
sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga,
setiap pemeluk agama wajib menjalankan syariat agamanya secara pribadi.
(Demokrasi Pancasila, 1975).
Oleh karena itu, hasrat membicarakan kembali Pancasila sekarang
haruslah dalam semangat kemerdekaan dan kedaulatan NKRI. Tanpa
intervensi ideologi asing, dan tanpa mendiskreditkan pihak lain dengan
alasan antipancasila, anti NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan slogan lainnya.
Setiap warganegara berhak ikut merumuskan dasar dan ideologi negara
yang benar, tanpa intimidasi dari pihak manapun.
Jogjakarta, 15 Mei 2011
Oleh Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Telah dimuat di majalah Gatra, 19 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar